KDRT : Sebuah Cacatan Kecil Pendampingan Korban
wibiyanto 16 Oktober 2016 16:33:10 WIB
Dalam memahami kekerasan terhadap perempuan, kita juga harus memahami adanya kontrol sosial yang menjadi sebab akibat kekerasan tersebut. Kekerasan dimulai dari relasi yang memaksa dan ancaman, adanya pihak yang diposisikan lebih berkuasa terhadap pihak yang dianggap lebih lemah. Bentuknya bisa sangat nyata, misalnya ancaman, intimidasi, penganiayaan dan pembunuhan, namun juga bisa dalam bentuk yang sangat subtil, halus misalnya dengan ekspresi-ekspresi non verbal gerakah, melalui berbagai norma yang hidup dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya perempuan tidak patut untuk aktif di luar, karena tempatnya di dalam rumah, meskipun perempuan tersebut mempunyai potensi dan kepandaian. Sedangkan laki-laki, dikondisikan untuk aktif di luar rumah, harus pintar dan sebagai pemimpin.
Nilai-nilai semacam itu masih diyakini dalam pola relasi sehari-hari. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, perempuan yang mengalami kekerasan posisinya menjadi lebih sulit, karena dia menerima berbagai stigma yang dikaitkan dengan nilai-nilai sosial. Misalnya, kasus perempuan (istri) yang dipukul suami karena memilih bekerja. Luka yang diderita perempuan tersebut bukan hanyak luka fisik tapi juga psikis. Selain itu, tudingan sebagai perempuan yang tidak menurut suami, istri yang berani pada suami, dsb, akan terus menempel dalam dirinya. Luka fisik akibat kekerasan mungkin bisa sembuh, namun luka hati akan lama sembuhnya dan berkemungkinan menetap seumur hidupnya – yang dapat menjadi trauma yang mempengaruhi perilaku dalam interaksi interpersonal maupun sosialnya.
Kekerasan terjadi jika salah satu pihak direndahkan. Namun, harus disadari juga bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan seringkali tidak bersifat tunggal, misalnya hanya dipukul atau dianiaya. Tapi bisa terjadi secara kontinum, artinya perempuan korban kekerasan dapat mengalami semua bentuk kekerasan baik fisik, psikis, seksual dan bentuk pembebanan ekonomi, yang kesemuanya saling kait satu sama lain. Selain itu terjadinya pembunuhan yang berakhir dengan kematian pada perempuan korban merupakan efek dari kekerasan fisik dan psikis.
Perempuan korban tindak kekerasan biasanya lebih banyak diam dalam menerima kekerasan tersebut, dan kita seringkali menyalahkan sikap itu. Sehingga tanpa sadar kita sebenarnya justru ikut menyalahkan korban. Padahal keterdiaman perempuan korban tindak kekerasan merupakan akibat kekerasan yang dialaminya, yaitu adanya siklus ketakutan dan nilai-nilai sosial budaya yang mengkondisikan perempuan diam karena berbagai alasan.
Hal lain yang perlu dicermati adalah secara umum masyarakat kita diajarkan untuk mempunyai harapan bahwa semuanya akan kembali menjadi baik. Demikian pula yang terjadi pada perempuan korban kekerasan, bahwa apa yang terjadi padanya hanya kekhilafan sesaat.
Penyesalan setelah terjadinya kekerasan akan muncul pada pelaku dan hal ini menjadikan korban semakin yakin bahwa pelaku hanya khilaf. Perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan terbiasa diajarkan untuk bersabar, bisa memaafkan pelaku, dan memberikan kesempatan pada pelaku untuk bisa berubah menjadi lebih baik. Perempuan yang sejak kecil dididik untuk melakukan peran yang mengutamakan hubungan yang membuat orang lain merasa nyaman, merasa ada harapan hubungan akan membaik, dan perempuan-lah yang harus bertanggung jawab atas kenyamanan pasangannya. Ketika ada konflik dan terjadi kekerasan lagi, maka siklus kekerasan yang meliputi terjadinya kekerasan, penyesalan pelaku, korban memaafkan, maka tindakan kekerasan itu akan terulang dan terpola. Sehinnga tidak jarang perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan akan hidup dalam kepatuhan dan berusaha lebih baik seperti yang diingini oleh pasangannya.
Perempuan korban kekerasan pada umumnya merasa dirinya adalah satu-satunya perempuan yang mengalami kekerasan. Oleh karenanya, mereka cenderung untuk menyalahkan dirinya sendiri. Kekerasan yang dialami oleh korban, juga mengakibatkan mereka menarik diri dari lingkungan sosialnya dan cenderung bertahan dalam keadaanya yang penuh dengan kekerasan.
Biasanya korban merasa tidak mampu untuk bisa melihat persoalan yang mendasari kekerasan yang menimpanya apalagi untuk melihat jalan keluar. Seringkali korban merasa bingung, dikarenakan saat meminta bantuan orang lain dia akan diminta bersabar atau diminta untuk mencari kesalahan yang dia lakukan, sehingga dia menerima tindak kekerasan tersebut.
Dalam kondisi tersebut, korban menjadi tidak berdaya dan putus asa. Korban merasa bahwa kekerasan yang menimpanya dikarenakan kesalahannya dan tidak ada orang yang bisa membantunya. Padahal sesungguhnya korban membutuhkan orang yang bisa menjadi teman berbagi atas apa yang dialaminya. Disinilah pendampingan dirasakan sebagai suatu kebutuhan bagi para perempuan korban tindak kekerasan. (Budi Haryanto)
Dokumen Lampiran : KDRT
Formulir Penulisan Komentar
Pencarian
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Pengunjung |
- KEGIATAN SCRENING KESEHATAN PADUKUHAN NGROMBO 1 KALURAHAN KARANGMOJO
- KEGIATAN PERTEMUAN PKK PADUKUHAN NGROMBO 1 KALURAHAN KARANGMOJO
- KEGIATAN SDIDTK DAN PEMBINAAN KELUARGA BALITA DI KALURAHAN KARANGMOJO
- PERTEMUAN PKK PADUKUHAN GATAK KALURAHAN KARANGMOJO
- KEGIATAN POSBINDU DAN SCRENING KESEHATAN PADUKUHAN KARANGDUWET 1 KALURAHAN KARANGMOJO
- PELAKSANAAN KEGIATAN POSYANDU PADUKUHAN KARANGDUWET 1 KALURAHAN KARANGMOJO
- SOSIALISASI LAYANAN INTERNET MASUK KALURAHAN KARANGMOJO