Dusun Legetang "Dusun Yang Hilang Dalam Semalam"

wibiyanto 10 Januari 2018 07:34:07 WIB

Ada sekelumit kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Dan sayangnya, peristiwa yang penuh dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung-singgung sedikit pun di dalam buku pelajaran di sekolah. Kita dan anak-anak kita tidak pernah tahu jika ada suatu desa yang penduduknya nyaris sama dengan kaum Sodom-Gomorah, senang bermaksiat, yang terkubur seluruhnya dalam satu malam hingga tidak bersisa. Satu desa bersama seluruh penduduknya lenyap dalam satu malam tertutup puncak sebuah gunung yang berada agak jauh dari lokasi desa itu.

Inilah kisah tentang Dukuh Legetang, yang masuk dalam wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah. Kejadiannya di tahun 1955.

Pada saat itu, Dukuh Legetang yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara, merupakan sebuah dukuh yang makmur. Berbagai kesuksesan di bidang pertanian menghiasi kehidupan dukuh (desa) itu.

Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang cukup sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kobis, dan sebagainya.

Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah dan sayur yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain.

Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini mereka malah banyak melakukan kemaksiatan. Barangkali ini yang dinamakan “istidraj” atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan.

Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan. Ada juga anak yang malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri. Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh ini.

Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.

Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah keluar rumah dan ingin memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat memekakkan telinga tadi malam. Mereka sangat kaget ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut. Bukan saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah bukit, dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan Dieng…

Seperti diceritakan oleh salah satu saksi hidup peristiwa ini, Toyib (71th)

_‘’Suara ‘guntur ’-nya (sebutan longsor di daerah setempat) itu sampai terdengar ke rumah saya. Padahal, rumah saya Desa Kepakisan,’’_ kisah Toyib yang saat peristiwa itu berusia 11 tahun. Lanjut Toyib, akan tetapi karena gelapnya malam dan hawa dingin menusuk tulang, membuat warga yang mendengar suara mengejutkan itu tidak berani keluar rumah untuk memeriksanya.

Baru esok paginya diketahui, ternyata suara itu berasal dari longsoran lereng sisi tenggara Gunung Pengamun-amun yang tepat menimpa Dukuh Legetang. Dari kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah ‘rompal’ (Jw. Terbelah).

Bukan saja tertimpa tapi juga berubah menjadi sebuah bukit yang mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini berubah menjadi gundukan tanah menyerupai bukit.

Menyadari peristiwa itu, sontak masyarakat di sekitar Dukuh Legetang terkejut. Kemudian banyak yang berteriak ‘Legetang guntur !’, situasi saat itu menjadi ramai dan membuat masyarakat berbondong-bondong untuk melihat lokasi kejadian.

_‘’Walaupun dusun yang lain juga hampir sama, tapi Dukuh Legetang sudah terlalu parah, terutama maksiat-maksiat masalah seks bebas,’’_ kata Toyib.

Dari 351 korban jiwa, terdapat 19 orang yang berasal dari luar Dukuh Legetang. Sementara itu, masih ada dua orang warga asli Legetang yang selamat dari bencana tersebut.

_‘’Yang hidup cuma disisakan dua sama Allah, itu perempuan semua. Mungkin disisakan dua biar untuk sejarah keadaan desa sini, tapi sekarang sudah meninggal,’’_ imbuhnya.

Masyarakat sekitar terheran-heran. Seandainya Gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu pasti hanya akan menimpa lokasi di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini jelas bukan longsornya gunung. Antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Namun sungai dan jurang itu sama sekali tidak terkena longsoran. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu malam tadi terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang.

Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah Yang Maha Kuasa?

_"Dan apabila gunung-gunung diterbangkan,”_

(QS. at-Takwir: 3)

Untuk memperingati kejadian itu, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu yang hari ini masih bisa dilihat siapa pun.

Ditugu tersebut ditulis dengan plat logam:

TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG

SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA

SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN

PADA TG. 16/17-4-1955

Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan.

_”Saya dan beberapa teman malam itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam tiga pagi,”_ katanya.

Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamunamun masih terus bergerak.

Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter.

_”Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh”_, kata Suhuri sembari menjelaskan.

_"Gejala lereng gunung akan longsor sudah diketahui 70 hari sebelum kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk mengasap tembakau rajangan di samping untuk memasak, melihat ada retakan memanjang dan cukup dalam di tempat itu. Tapi tanda-tanda tadi tak membuat orang waspada, meski sering jadi bahan obrolan di Legetang. Orang baru menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu setelah Legetang kiamat,”_ katanya.

Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak ada, kenang Suhuri.

Sungguh kisah tenggelamnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa azab Allah swt yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini. Bahwa sangat mudah bagi Allah untuk mengazab manusia-manusia lalim dan durjana dalam hitungan detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba-NYa yang bermunajat di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.

 

Sumber; https://www.google.co.id/amp/s/amp.kaskus.co.id/thread/56d540a992523307168b4576/dukuh-legetang-desa-yang-hilang-dalam-semalam

Komentar atas Dusun Legetang "Dusun Yang Hilang Dalam Semalam"

Raden Hendra Galih Pramono 25 Juni 2021 22:36:29 WIB
Maa syaa Allah, baarakallahu fiikum. Informasi dan pelajaran yg disampaikan oleh website desa ini bermanfaat, in syaa Allah. Di tengah-tengah zaman dan media sosial spt ini, jujur belum tentu ada website daerah (yg resmi) isinya mengungkap informasi edukatif yg berisi pelajaran pelajaran penting spt ini, meskipun demikian, kami tetap mendukung panjenengan para pejabat, da'i, serta admin yg menyebarkan informasi bermanfaat seperti ini. Jazaakumullahu khayran, semoga Allah membalas kebaikan panjenengan semua dengan yang lebih baik
Raden Hendra Galih Pramono 25 Juni 2021 22:34:08 WIB
Maa syaa Allah, baarakallahu fiikum. Informasi dan pelajaran yg disampaikan oleh website desa ini bermanfaat, in syaa Allah. Di tengah-tengah zaman dan media sosial spt ini, jujur belum tentu ada website daerah (yg resmi) isinya mengungkap informasi edukatif yg berisi pelajaran pelajaran penting spt ini, meskipun demikian, kami tetap mendukung panjenengan para pejabat, da'i, serta admin yg menyebarkan informasi bermanfaat seperti ini. Jazaakumullahu khayran, semoga Allah membalas kebaikan panjenengan semua dengan yang lebih baik
Robby Wienanto 18 Mei 2021 12:45:06 WIB
Sekedar memberikan fakta lain bahwa kesenian lengger dibawakan oleh penari pria bukan wanita. Berikut ulasan dan referensi pustakanya, semoga bermanfaat: Masyarakat Legetang sebagian besar adalah petani, mereka bercocok tanam di kebun seiring dengan suburnya kawasan Lembah Dieng. Seperti kebanyakan masyarakat agraris di Indonesia, kepercayaan antara manusia dan alam menjadi satu ikatan penting. Hubungan antara petani dan alam terjalin dalam sebuah produk kebudayaan, salah satunya tarian. Legetang, desa yang makmur ini dulunya tetap melestarikan ronggeng atau lengger. Tarian lengger tidak apat dipisahkan dari keyakinan bahwa lengger adalah bentuk rasa syukur terhadap hasil panen sekaligus penghormatan kepada Dewi Sri. Para lelaki menari tayub, mengiringi seorang lengger yang menari dan nembang dengan sensual. Gerakan tariannya sering berbau erotis dan jauh dari kesan kelemahlembutan seperti tarian Jawa wetanan.Konon, gerakan-gerakan tersebut dipercaya mempengaruhi kekuatan dan kesuburan (Spiller, 2010 : 84). Lengger berasal dari kata leng yang artinya lubang (wanita) dan jengger yang artinya terjulur (pria) dengan kata lain lengger ditarikan oleh pria dengan berpakaian wanita begitu pula dengan riasan dan gerakannya. Dalam Bausastra Jawa-Indonesia (S. Prawiroatmojo) yang diterbitkan Tahun 1957 disebutkan bahwa asal muasal lengger justru memang ditarikan oleh penari pria bukan oleh para penari wanita seperti sekarang ini. Walaupun demikian komunitas kecil lengger lanang di Banyumas masih tetap ada. "Erotika tidak perlu belajar dari Barat,karena sudah mengakar ada di Nusantara. Erotika di masyarakat Indonesia, ibarat bahan pangan seperti beras,gula atau garam yang dimport dari Barat,padahal sudah ada berabad-abad di Indonesia. Bahkan sebelum kolonial dan agama-agama "import" datang ke bumi Nusantara."Elizabeth D Inandak, seorang penyair asal Perancis yang menerjemahkan dan menafsirkan kembali Serat Centhini memberikan pernyataan atas sejarah homoseksualitas di Indonesia. Sejarah lengger ini bisa dijadikan acuan bahwa ternyata homoseksualitas sudah ada sejak jaman dahulu, bahkan sebelum para penjajah datang. Eksistensi LGBT di Banyumas tercatat di Zaman Mangkunegaran VII pada Serat Centhini jilid 5 yang masyhur dan dijadikan referensi sebagai kitab kamasutra Jawa. Dalam beberapa tembangnya, Serat Centhini juga menggambarkan kisah cinta yang vulgar antara penari lengger Nurwitri, Mascebolang dan Adipati Wirasaba. "Kiai Adipati hatinya sungguh-sungguh hanyut oleh Nurwitri, penari laki-laki. Ki Adipati sedikit mabuk brem, tape dan tua. Ia mabuk bercampur asmara. Nurwitrilah yang menjadi sasaran asmaranya. Baru kali inilah ia berkehendak yang janggal. Nurwitri dibawa pulang ke rumah tembok bagian belakang. Kiai adipati berkata, "Nurwitri majulah sedikit, saya akan tidur karena itu selimutilah dan bersenandunglah. Nurwitri menjawab, ya, sambil mengerling dan mengatupkan bibirnya. Kiai Adipati segera memeluk leher Nurwitri. Ia gemas maka Nurwitri dicubit kemudian bibir dan pipinya dihisap dan dicium. ...tingkahnya tidak berbeda dengan menghadapi wanita". Lengger mewakili dualisme kekeramatan. Di satu sisi lengger dianggap melambangakan sisi kesucian dan kemagisan, di sisi lain lengger dianggap sebagai aktivitas pemenuh hasrat seksual.

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar
 

Pencarian

Komentar Terkini

Media Sosial

FacebookTwitterGoogle PlussYoutubeInstagram

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Pengunjung

Aduan Masyarakat

Keluhan Warga
Silahkan sampaikan keluh kesah anda dengan mengisi formulir secara lengkap

Obrolan Warga Karangmojo